3 penyebab Perang Diponegoro 20 juli 1825

Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya. Selain itu juga yang belajar dari sejarah para pahlawannya. Di bawah ini kami uraikan mengenai sejarah Perang Diponegoro. Artikel ini saya kutip dari Situs Wikipedia.

Perang Diponegoro yang juga dikenal dengan sebutan Perang Jawa (Inggris:The Java War, Belanda: De Java Oorlog adalah perang besar dan berlangsung selama lima tahun (1825-1830) di Pulau Jawa, Hindia Belanda (sekarang Indonesia).

Latar belakang perang Diponegoro

Pemerintahan Daendels dan Raffles

Perseteruan pihak keraton Jawa dengan Belanda dimulai semenjak kedatangan Marsekal Herman Willem Daendels di Batavia pada tanggal 5 Januari 1808. Meskipun ia hanya ditugaskan untuk mempersiapkan Jawa sebagai basis pertahanan Perancis melawan Inggris (saat itu Belanda dikuasai oleh Perancis), tetapi Daendels juga mengubah etiket dan tata upacara lain yang menyebabkan terjadinya kebencian dari pihak keraton Jawa. Ia memaksa pihak Keraton Yogyakarta untuk memberinya akses terhadap berbagai sumber daya alam dan manusia dengan mengerahkan kekuatan militernya, membangun jalur antara Anyer dan Panarukan, hingga akhirnya terjadi insiden perdagangan kayu jati di daerah mancanegara (wilayah Jawa di timur Yogyakarta) yang menyebabkan terjadinya pemberontakan Raden Ronggo. Setelah kegagalan pemberontakan Raden Ronggo (1810), Daendels memaksa Sultan Hamengkubuwana II membayar kerugian perang serta melakukan berbagai penghinaan lain yang menyebabkan terjadinya perseteruan antar keluarga keraton (1811). Namun, pada tahun yang sama, pasukan Inggris mendarat di Jawa dan mengalahkan pasukan Belanda.

Meskipun pada mulanya Inggris yang dipimpin Thomas Stamford Bingley Raffles memberikan dukungan kepada Sultan Hamengkubuwana II, pasukan Inggris akhirnya menyerbu Keraton Yogyakarta (19-20 Juni 1812) yang menyebabkan Sultan Hamengkubuwana II diturunkan secara tidak hormat dan digantikan putra sulungnya, yaitu Sultan Hamengkubuwana III. Perisitwa ini dikenal dengan nama Geger Sepehi. Inggris memerintah hingga tahun 1815 dan mengembalikan Jawa kepada Belanda sesuai isi Perjanjian Wina (1814) di bawah Gubernur Jenderal Belanda van der Capellen. Pada masa pemerintahan Inggris, Hamengkubuwana III wafat dan digantikan putranya, adik tiri Pangeran Diponegoro, yaitu Hamengkubuwana IV yang berusia 10 tahun (1814), sementara Paku Alam I (Patih Danuredjo) bertindak sebagai wali.

Pengangkatan Hamengkubuwana V dan pemerintahan Smissaert

Pada tanggal 6 Desember 1822, Hamengkubuwana IV meninggal pada usia 19 tahun. Ratu Ageng (permaisuri Hamengkubuwana II) dan Gusti Kangjeng Ratu Kencono (permaisuri Hamengkubuwana IV) memohon dengan sangat kepada pemerintah Belanda untuk mengukuhkan putra Hamengkubuwana IV yang masih berusia 2 tahun untuk menjadi Hamengkubuwana V serta tidak lagi menjadikan Paku Alam sebagai wali. Pangeran Diponegoro selanjutnya diangkat menjadi wali bagi keponakannya bersama dengan Mangkubumi. Sebagai putra tertua Hamengkubuwana III meskipun bukan dari istri resmi (permaisuri), ia merasa sangat sakit hati dan sempat berpikir untuk bunuh diri karena kecewa. Pada tahun 1823, tahta keraton yang seharusnya diduduki wali sultan yang masih balita ternyata ditempati oleh Residen Belanda saat itu, yaitu Smissaert, sehingga sangat melukai hati masyarakat Yogya dan Pangeran Diponegoro, meskipun ada kecurigaan bahwa tindakan Smissaert disebabkan kedua ratu tidak ingin melihat Diponegoro duduk di atas tahta.

Menindaklanjuti pengamatan Van der Graaf pada tahun 1821 yang melihat para petani lokal menderita akibat penyalahgunaan penyewaan tanah oleh warga Belanda, Inggris, Perancis, dan Jerman, van der Capellen mengeluarkan dekret pada tanggal 6 Mei 1823 bahwa semua tanah yang disewa orang Eropa dan Tionghoa wajib dikembalikan kepada pemiliknya per 31 Januari 1824. Namun, pemilik lahan diwajibkan memberikan kompensasi kepada penyewa lahan Eropa. Keraton Yogyakarta terancam bangkrut karena tanah yang disewa adalah milik keraton sehingga Pangeran Diponegoro terpaksa meminjam uang kepada Kapitan Tionghoa di Yogyakarta pada masa itu. Smissaert berhasil menipu kedua wali sultan untuk meluluskan kompensasi yang diminta oleh Nahuys atas perkebunan di Bedoyo sehingga membuat Diponegoro memutuskan hubungannya dengan keraton. Putusnya hubungan tersebut terutama disebabkan tindakan Ratu Ageng (ibu tiri pangeran) dan Patih Danurejo yang pro kepada Belanda. Pada 29 Oktober 1824, Pangeran Diponegoro mengadakan pertemuan di rumahnya, di Tegalrejo, untuk membahas mengenai kemungkinan pemberontakan pada pertengahan Agustus. Pangeran Diponegoro membulatkan tekad untuk melakukan perlawanan dengan membatalkan pajak Puwasa agar para petani di Tegalrejo dapat membeli senjata dan makanan.

Berlangsungnya Perang Diponegoro

Perang Diponegoro berawal ketika pihak Belanda memasang patok di tanah milik Diponegoro di desa Tegalrejo. Saat itu, ia memang sudah muak dengan kelakuan Belanda yang tidak menghargai adat istiadat setempat dan sangat mengeksploitasi rakyat dengan pembebanan pajak.

Sikap Diponegoro yang menentang Belanda secara terbuka, mendapat simpati dan dukungan rakyat. Atas saran GPH Mangkubumi, pamannya, Diponegoro menyingkir dari Tegalrejo, dan membuat markas di sebuah gua yang bernama Gua Selarong. Saat itu, Diponegoro menyatakan bahwa perlawanannya adalah perang sabil, perlawanan menghadapi kaum kafir. Semangat “perang sabil” yang dikobarkan Diponegoro membawa pengaruh luas hingga ke wilayah Pacitan dan Kedu.

Salah seorang tokoh agama di Surakarta, Kyai Maja, ikut bergabung dengan pasukan Diponegoro di Gua Selarong. Kyai Mojo yang lahir di Desa Mojo di wilayah Pajang, dekat Kota Surakarta tertarik berjuang bersama Pangeran Diponegoro karena Pangeran Diponegoro ingin mendirikan kerajaan yang berlandaskan Islam. Kyai Mojo dikenal sebagai ulama besar yang sebenarnya masih memiliki hubungan kekerabatan dengan Diponegoro. Ibu Kyai Mojo, R.A. Mursilah, adalah saudara perempuan dari Sultan Hamengkubuwana III.

Akan tetapi, Kyai Mojo yang aslinya bernama Muslim Mochamad Khalifah semenjak lahir tidak mencicipi kemewahan gaya hidup keluarga istana. Jalinan persaudaraan Diponegoro dan Kyai Mojo kian erat setelah Kyai Mojo menikah dengan janda Pangeran Mangkubumi yang merupakan paman dari Diponegoro. Tak heran, Diponegoro memanggil Kyai Mojo dengan sebutan “paman” meski relasi keduanya adalah saudara sepupu.

Selain Kyai Mojo, perjuangan Diponegoro juga didukung oleh Sunan Pakubuwono VI dan Raden Tumenggung Prawiradigdaya Bupati Gagatan. Meski demikian, pengaruh dukungan Kyai Mojo terhadap perjuangan Diponegoro begitu kuat karena ia memiliki banyak pengikut dari berbagai lapisan masyarakat. Kyai Mojo yang dikenal sebagai ulama penegak ajaran Islam ini bercita-cita, tanah Jawa dipimpin oleh pemimpin yang mendasarkan hukumnya pada syariat Islam.

Semangat memerangi Belanda yang merupakan musuh Islam dijadikan taktik Perang Suci. Oleh sebab itu, kekuatan Dipenogoro kian mendapat dukungan terutama dari tokoh-tokoh agama yang berafiliasi dengan Kyai Mojo. Menurut Peter Carey (2016) dalam Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro 1785-1855 disebutkan bahwa sebanyak 112 kyai, 31 haji, serta 15 syekh dan puluhan penghulu berhasil diajak bergabung.

Selama perang ini kerugian pihak Belanda tidak kurang dari 15.000 tentara dan 20 juta gulden.

Berbagai cara terus diupayakan Belanda untuk menangkap Diponegoro. Bahkan sayembara pun dipergunakan. Hadiah 50.000 Gulden diberikan kepada siapa saja yang bisa menangkap Diponegoro, hingga akhirnya ditangkap pada 1830.

Perang Diponegoro merupakan perang terbuka dengan pengerahan pasukan-pasukan infanteri, kavaleri, dan artileri—yang sejak perang Napoleon menjadi senjata andalan dalam pertempuran frontal—di kedua belah pihak berlangsung dengan sengit. Front pertempuran terjadi di puluhan kota dan desa di seluruh Jawa.

Pertempuran berlangsung sedemikian sengitnya sehingga bila suatu wilayah dapat dikuasai pasukan Belanda pada siang hari, maka malam harinya wilayah itu sudah direbut kembali oleh pasukan pribumi; begitu pula sebaliknya. Jalur-jalur logistik dibangun dari satu wilayah ke wilayah lain untuk menyokong keperluan perang. Berpuluh kilang mesiu dibangun di hutan-hutan dan dasar jurang.

Produksi mesiu dan peluru berlangsung terus sementara peperangan berkencamuk. Para telik sandi dan kurir bekerja keras mencari dan menyampaikan informasi yang diperlukan untuk menyusun stategi perang. Informasi mengenai kekuatan musuh, jarak tempuh dan waktu, kondisi medan, curah hujan menjadi berita utama; karena taktik dan strategi yang jitu hanya dapat dibangun melalui penguasaan informasi.

Serangan-serangan besar rakyat pribumi selalu dilaksanakan pada bulan-bulan penghujan; para senopati menyadari sekali untuk bekerja sama dengan alam sebagai “senjata” tak terkalahkan. Bila musim penghujan tiba, gubernur Belanda akan melakukan berbagai usaha untuk gencatan senjata dan berunding, karena hujan tropis yang deras membuat gerakan pasukan mereka terhambat. Penyakit malaria, disentri, dan sebagainya merupakan “musuh yang tak tampak” melemahkan moral dan kondisi fisik bahkan merenggut nyawa pasukan mereka.

Ketika gencatan senjata terjadi, Belanda akan mengkonsolidasikan pasukan dan menyebarkan mata-mata dan provokator mereka bergerak di desa dan kota; menghasut, memecah belah dan bahkan menekan anggota keluarga para pengeran dan pemimpin perjuangan rakyat yang berjuang di bawah komando pangeran Diponegoro. Namun pejuang pribumi tersebut tidak gentar dan tetap berjuang melawan Belanda.

Pada puncak peperangan, Belanda mengerahkan lebih dari 23.000 orang serdadu; suatu hal yang belum pernah terjadi ketika itu, ketika suatu wilayah yang tidak terlalu luas seperti Jawa Tengah dan sebagian Jawa timur dijaga oleh puluhan ribu serdadu.

Dari sudut kemiliteran, ini adalah perang pertama yang melibatkan semua metode yang dikenal dalam sebuah perang modern. Baik metode perang terbuka (open warfare), maupun metode perang gerilya (guerilla warfare) yang dilaksanakan melalui taktik hit and run dan penghadangan. Ini bukan sebuah perang suku, melainkan suatu perang modern yang memanfaatkan berbagai siasat yang saat itu belum pernah dipraktikkan.

Perang ini juga dilengkapi dengan taktik perang urat saraf (psy-war) melalui insinuasi dan tekanan-tekanan serta provokasi oleh pihak Belanda terhadap mereka yang terlibat langsung dalam pertempuran; dan kegiatan telik sandi (spionase) dengan kedua belah pihak saling memata-matai dan mencari informasi mengenai kekuatan dan kelemahan lawannya.

Pada tahun 1827, Belanda melakukan penyerangan terhadap Diponegoro dengan menggunakan sistem benteng sehingga Pasukan Diponegoro terjepit. Pada tahun 1829, Kyai Maja, pemimpin spiritual pemberontakan, ditangkap. Menyusul kemudian Pangeran Mangkubumi dan panglima utamanya Sentot Alibasya menyerah kepada Belanda. Akhirnya pada tanggal 28 Maret 1830, Jenderal De Kock berhasil menjepit pasukan Diponegoro di Magelang.

Di sana, Pangeran Diponegoro menyatakan bersedia menyerahkan diri dengan syarat sisa anggota laskarnya dilepaskan. Maka, Pangeran Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Manado, kemudian dipindahkan ke Makassar hingga wafatnya di Benteng Rotterdam tanggal 8 Januari 1855.

Perang melawan penjajah lalu dilanjutkan oleh para putra Pangeran Diponegoro: Ki Sodewa atau Bagus Singlon, Dipaningrat, Dipanegara Anom, Pangeran Joned yang terus-menerus melakukan perlawanan walaupun harus berakhir tragis. Empat putra Pangeran Diponegoro dibuang ke Ambon, sementara Pangeran Joned terbunuh dalam peperangan, begitu juga Ki Sodewa.

Berakhirnya Perang Jawa yang merupakan akhir perlawanan bangsawan Jawa. Perang Jawa ini banyak memakan korban di pihak pemerintah Hindia sebanyak 8.000 serdadu berkebangsaan Eropa, 7.000 pribumi, dan 200.000 orang Jawa. Sehingga setelah perang ini jumlah penduduk Ngayogyakarta menyusut separuhnya. Mengingat bagi sebagian kalangan dalam Kraton Ngayogyakarta, Pangeran Diponegoro dianggap pemberontak, sehingga konon anak cucunya tidak diperbolehkan lagi masuk ke Kraton, sampai kemudian Sri Sultan Hamengkubuwana IX memberi amnesti bagi keturunan Diponegoro, dengan mempertimbangkan semangat kebangsaan yang dipunyai Diponegoro kala itu. Kini anak cucu Diponegoro dapat bebas masuk Kraton, terutama untuk mengurus silsilah bagi mereka, tanpa rasa takut akan diusir.