Sriwijaya mempengaruhi sebagian besar Asia Tenggara. Sriwijaya adalah pusat penting untuk perluasan agama Buddha dari abad ke-8 hingga ke-12. Sriwijaya adalah kerajaan terpadu pertama yang mendominasi sebagian besar kepulauan Melayu. Munculnya kerajaan Sriwijaya terlihat sejajar dengan berakhirnya periode laut-Melayu. Karena lokasinya, negara yang dulu kuat ini mengembangkan teknologi kompleks yang memanfaatkan sumber daya maritim.
Selain itu, ekonominya menjadi semakin bergantung pada perdagangan yang booming di kawasan ini, sehingga mengubahnya menjadi ekonomi berbasis barang prestise. Dalam bahasa Sansekerta, śrī berarti “beruntung”, “makmur”, atau “bahagia” dan vijaya berarti “menang” atau “unggul”.
Referensi paling awal untuk itu berasal dari abad ke-7. Seorang bhikkhu Tang, Yijing, menulis bahwa dia mengunjungi Sriwijaya pada 671 selama enam bulan. Prasasti yang paling awal dikenal di mana nama Sriwijaya muncul juga berasal dari abad ke-7 dalam prasasti Kedukan Bukit yang ditemukan di dekat Palembang, Sumatra, tertanggal 16 Juni 682. Antara akhir abad ke-7 dan awal abad ke-11, Sriwijaya naik menjadi hegemon di Asia Tenggara. Itu terlibat dalam interaksi yang erat, sering menjadi saingan, dengan Jawa yang berdekatan, Kambuja dan Champa.
Minat utama Sriwijaya adalah memelihara perjanjian perdagangan menguntungkan dengan Cina yang berlangsung dari Dinasti Tang ke Song. Sriwijaya memiliki hubungan agama, budaya dan perdagangan dengan Pala Buddha Bengal, serta dengan Kekhalifahan Islam di Timur Tengah. Kerajaan itu tidak ada lagi pada abad ke-13 karena berbagai faktor, termasuk perluasan kerajaan Singhasari dan Majapahit yang bersaing. Setelah Sriwijaya jatuh, sebagian besar terlupakan.
Sriwijaya merupakan salah satu kerajaan besar yang pernah membawa kejayaan kepulauan Nusanatara di masa lampau. Bukan saja dikenal di wilayah Indonesia, tetapi hampir setiap bangsa yang berada jauh di luar Indonesia mengenal Kerajaan Sriwijaya. Hal ini disebabkan karena letak Sriwijaya yang sangat strategis dan dekat dengan jalur perdagangan antar bangsa yakni Selat Malaka. Selat Malaka pada masa itu adalah jalur perdagangan ramai yang menghubungkan pedagang-pedagang Cina dengan India maupun Romawi.
Dari tepian Sungai Musi di Sumatera Selatan, pengaruh Kerajaan Sriwijaya semakin meluas. Mencakup wilayah Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Bangka, Laut Jawa bagian barat, Bangka, Jambi Hulu, Jawa Barat (Tarumanegara), Semenanjung Malaya hingga ke Tanah Genting Kra.
Dalam upaya mewujudkan cita-cita agar Sriwijaya menjadi kerajaan Maritim, perluasan kerajaan dilakukan untuk menguasai jalur perdagangan di Selat Malaka dan Selat Sunda yang merupakan jalur perdagangan dan pelayaran yang sangat penting. Keberhasilan Sriwijaya berkuasa atas semua selat itu menjadikan Kerajaan Sriwijaya sebagai penguasa tunggal jalur aktivitas perdagangan dunia yang melalui Asia Tenggara.
Armada Sriwijaya yang kuat dapat menjamin keamanan aktivitas pelayaran dan perdagangan. Armada Sriwijaya juga dapat memaksa perahu dagang untuk singgah di pusat atau di bandar-bandar Kerajaan Sriwijaya. Semakin ramainya aktivitas pelayaran dan perdagangan menjadikan Sriwijaya sebagai tempat pertemuan para pedagang atau pusat perdagangan di Asia Tenggara. Pengaruh dan peranan Kerajaan Sriwijaya semakin besar di lautan. Bahkan para pedagang dari Kerajaan Sriwijaya juga melakukan hubungan sampai di luar wilayah Indonesia, sampai ke China di sebelah utara, dan Laut Merah serta Teluk Persia di sebelah barat.
Salah satu cara untuk memperluas pengaruh kerajaan adalah melakukan perkawinan dengan kerajaan lain. Hal ini dilakukan oleh penguasa Sriwijaya, Dapunta Hyang pada tahun 664 M dengan Sobakancana, putri kedua raja Kerajaan Tarumanegara.
Saat kerajaan Funan di Indo-China runtuh, Sriwijaya memperluas daerah kekuasaannya hingga bagian barat Nusantara. Di wilayah utara, melalui kekuatan armada lautnya, Sriwijaya mampu mengusai lalu lintas perdagangan antara India dan Cina, serta menduduki Semenanjung Malaya. Kekuatan armada terbesar Sriwijaya juga melakukan ekspansi wilayah hingga ke Pulau Jawa, Brunei atau Borneo. Hingga pada abad ke-8, Kerajaan Sriwijaya telah mampu menguasai seluruh jalur perdagangan di Asia Tenggara.
Struktur Birokrasi kerajaan Sriwijaya
Kerajaan Sriwijaya menerapkan struktur birokrasi yang bersifat langsung, karena raja berperan penting dalam pengawasan terhadap tempat-tempat yang dianggap strategis. Raja dapat memberikan penghargaan terhadap penguasa daerah yang setia dan sebaliknya dapat menjatuhi hukumanterhadap penguasa daerah yang tidak setia kepada kerajaan.
Dalam beberapa prasasti disebutkan tentang pelaksanaan suatu keputusan raja, lengkap dengan perincian hadiah atau sanksi yang dapat diterima dalam suatu peristiwa. Selain itu, ditemukan prasasti-prasasti yang mencatat masalah-masalah penyelesaian hokum sengketa antarwarga. Hal yang menarik bahwa sebagian prasasti memuat ancaman-ancaman atau kutukan-kutukan yang ditujukan kepada keluarga raja itu sendiri. Walaupun kedengarannya aneh, namun ada pendapat yang menganggap bahwa hal itu sangat mungkin terjadi, karena keluarga-keluarga raja yang menjadi ancaman itu, kekuasaannya berada di luar pengawasan langsung dari raja yang berkuasa.
Kehidupan Ekonomi kerajaan Sriwijaya
Penguasaan Kerajaan Sriwijaya di urat nadi perhubungan pelayaran dan perdagangan Asia Tenggara yaitu di Selat Malaka, mempunyai arti penting bagi perekonomian kerajaan. Karena banyak kapal-kapal asing yang singgah untuk menambah air minum, perbekalan makanan, istirahat, atau melakukan aktivitas perdagangan. Karena bertambah ramainya kegiatan perdagangan di Selat Malaka, Sriwijaya membangun ibukota baru di Semenanjung Malaka, yaitu di Ligor yang dibuktikan dengan Parasasti Ligor (755 M). Pendirian ibukota Ligor tersebut bukan berarti meninggalkan ibukota di Sumatera Selatan, melainkan hanya untuk melakukan pengawasan lebih dekat terhadap aktivitas perdagangan di Selat Malaka atau menghindari penyeberangan yang dilakukan oleh para pedagang melalui Tanah Genting Kra.
Menurut catatan asing, bumi Sriwijaya menghasilkan cengkeh, kapulaga, pala, lada, pinang, kayu gaharu, kayu cendana, kapur barus, gading, timah, emas, perak, kayu hitam, kayu sapan, rempah-rempah dan penyu. Barang-barang tersebut dijual atau dibarter dengan kain katu, sutera dan porselen melalui relasi dagang dengan Cina, India, Arab dan Madagaskar.
Kehidupan Sosial dan Budaya kerajaan Sriwijaya
Sriwijaya yang merupakan kerajaan besar penganut agama Budha, serta merupakan pusat agama Budha yang penting di Asia Tenggara dan Asia Timur. Agama Budha yang berkembang di Kerajaan Sriwijaya adalah agama Budha Mahayana. Menurut berita dari Tibet, seorang pendeta bernama Atica datang dan tinggal di Sriwijaya (1011-1023 M) untuk belajar agama Budha dari seorang guru bernama Dharmapala. Menurutnya, Sriwijaya merupakan pusat agama Budha di luar India.
Peninggalan-peninggalan Kerajaan Sriwijaya banyak ditemukan di daerah Palembang, Jambi, Riau, Malaysia, dan Thailand. Ini disebabkan karena Sriwijaya merupakan kerajaan maritim yang selalu berpindah-pindah, tidak menetap di satu tempat dalam kurun waktu yang lama. Prasasti dan situs yang ditemukan di sekitar Palembang, yaitu Prasasti Boom Baru (abad ke7 M), Prasasti Kedukan Bukit (682 M), Prasasti Talangtuo (684 M), Prasasti Telaga Batu ( abad ke-7 M), Situs Candi Angsoka, Situs Kolam Pinishi, dan Situs Tanjung Rawa.
Peninggalan sejarah Kerajaan Sriwijaya lainnya yang ditemukan di Jambi, Sumatera Selatan dan Bengkulu, yaitu Candi Kotamahligai, Candi Kedaton, Candi Gedong I, Candi Gedong II, Candi Gumpung, Candi Tinggi, Candi Kembar batu, Candi Astono dan Kolam Telagorajo, Situs Muarojambi. Di Lampung, prasasti yang ditemukan adalah Prasasti Palas Pasemah dan Prasasti Bungkuk (Jabung). Di Riau, ditemukan Candi Muara Takus yang berbentuk stupa Budha.
Masa Keemasan Kerajaan Sriwijaya
Pada paruh pertama abad ke-10 yaitu antara masa jatuhnya Dinasti Tang dan naiknya dinasti Song, perdagangan dengan luar negeri cukup marak, terutama Fujian, Kerajaan Min dan negeri kaya Guangdong, Kerajaan Nan Han. Tak diragukan lagi Sriwijaya mendapatkan keuntungan dari perdagangan ini. Pada tahun 903, penulis Muslim Ibn Batutah sangat terkesan dengan kemakmuran Sriwijaya. Daerah urban kerajaan meliputi Palembang (khususnya Bukit Seguntang), Muara Jambi dan Kedah.
Masa Kemunduran Kerajaan Sriwijaya
Tahun 1025, Rajendra Chola, Raja Chola dari Koromandel, India selatan menaklukkan Kedah dari Sriwijaya dan menguasainya. Kerajaan Chola meneruskan penyerangan dan penaklukannya selama 20 tahun berikutnya ke seluruh imperium Sriwijaya. Meskipun invasi Chola tidak berhasil sepenuhnya, invasi tersebut telah melemahkan hegemoni Sriwijaya yang berakibat terlepasnya beberapa wilayah dengan membentuk kerajaan sendiri, seperti Kediri, sebuah kerajaan yang berbasiskan pada pertanian.
Antara tahun 1079 – 1088, orang Tionghoa mencatat bahwa Sriwijaya mengirimkan duta besar dari Jambi dan Palembang. Tahun 1082 dan 1088, Jambi mengirimkan lebih dari dua duta besar ke China. Pada periode inilah pusat Sriwijaya telah bergeser secara bertahap dari Palembang ke Jambi. Ekspedisi Chola telah melemahkan Palembang, dan Jambi telah menggantikannya sebagai pusat kerajaan.
Berdasarkan sumber Tiongkok pada buku Chu-fan-chi yang ditulis pada tahun 1178, Chou-Ju-Kua menerangkan bahwa di kepulauan Asia Tenggara terdapat dua kerajaan yang sangat kuat dan kaya, yakni Sriwijaya dan Jawa (Kediri). Di Jawa dia menemukan bahwa rakyatnya memeluk agama Budha dan Hindu, sedangkan rakyat Sriwijaya memeluk Budha. Berdasarkan sumber ini pula dikatakan bahwa beberapa wilayah kerajaan Sriwijaya ingin melepaskan diri, antara lain Kien-pi (Kampe, di utara Sumatra) dan beberapa koloni di semenanjung Malaysia.
Pada masa itu wilayah Sriwijaya meliputi; Pong-fong (Pahang), Tong-ya-nong (Trengganu), Ling-ya-ssi-kia (Langkasuka), Kilan-tan (Kelantan), Fo-lo-an, Ji-lo-t’ing (Jelutong), Ts’ien-mai, Pa-t’a (Batak), Tan-ma-ling (Tambralingga, Ligor), Kia-lo-hi (Grahi, bagian utara semenanjung Malaysia), Pa-lin-fong (Palembang), Sin-t’o (Sunda), Lan-wu-li (Lamuri di Aceh), and Si-lan (Srilanka).
Pada tahun 1288, Singosari, penerus kerajaan Kediri di Jawa, menaklukan Palembang dan Jambi selama masa ekspedisi Pamalayu. Di tahun 1293, Majapahit pengganti Singosari, memerintah Sumatra. Raja ke-4 Hayam Wuruk memberikan tanggung jawab tersebut kepada Pangeran Adityawarman, seorang peranakan Minang dan Jawa. Pada tahun 1377 terjadi pemberontakan terhadap Majapahit, tetapi pemberontakan tersebut dapat dipadamkan walaupun di selatan Sumatra sering terjadi kekacauan dan pengrusakan.
Kedudukan Sriwijaya makin terdesak karena munculnya kerajaan-kerajaan besar yang juga memiliki kepentingan dalam dunia perdagangan, seperti Kerajaan Siam di sebelah utara. Kerajaan Siam memperluas kekuasaannya ke arah selatan dengan menguasai daerah-daerah di Semenanjung Malaka termasuk Tanah Genting Kra. Jatuhnya Tanah Genting Kra ke dalam kekuasaan Kerajaan Siam mengakibatkan lemahnya kegiatan pelayaran dan perdagangan di Kerajaan Sriwijaya.
Di masa berikutnya, terjadi pengendapan pada Sungai Musi yang berakibat tertutupnya akses pelayaran ke Palembang. Hal ini tentunya sangat merugikan perdagangan kerajaan. Penurunan Sriwijaya terus berlanjut hingga masuknya Islam ke Aceh yang disebarkan oleh pedagang-pedagang Arab dan India. Di akhir abad ke-13, Kerajaan Pasai di bagian utara Sumatra berpindah agama Islam.
Maka sejak akhir abad ke-13 M Kerajaan Sriwijaya menjadi kerajaan kecil dan wilayahnya terbatas pada daerah Palembang. Kerajaan Sriwijaya yang kecil dan lemah akhirnya dihancurkan oleh Kerajaan Majapahit pada tahun 1377 M. Pada tahun 1402, Parameswara, pangeran terakhir Sriwijaya mendirikan Kesultanan Malaka di Semenanjung Malaysia.