Pemilihan Umum Indonesia 1955 adalah pemilihan umum pertama di Indonesia yang diadakan pada tahun 1955. Pemilu ini sering dikatakan sebagai pemilu Indonesia paling demokratis. Pemilu tahun 1955 ini dilaksanakan saat keamanan negara masih kurang kondusif; beberapa daerah dirundung kekacauan oleh DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) khususnya pimpinan Kartosuwiryo.
Dalam keadaan seperti ini, anggota angkatan bersenjata dan polisi juga memilih. Mereka yang bertugas di daerah rawan digilir datang ke tempat pemilihan. Pemilu akhirnya pun berlangsung aman. Pemilu ini bertujuan memilih anggota-anggota DPR dan Konstituante.
Jumlah kursi DPR yang diperebutkan berjumlah 260, sedangkan kursi Konstituante berjumlah 520 (dua kali lipat kursi DPR) ditambah 14 wakil golongan minoritas yang diangkat pemerintah. Pemilu ini dipersiapkan di bawah pemerintahan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo. Namun, Ali Sastroamidjojo mengundurkan diri dan pada saat pemungutan suara, dan kepala pemerintahan telah dipegang oleh Perdana Menteri Burhanuddin Harahap.
Krisis Politik Setelah Pemilu 1955
Berikut akan diuraikan krisis-krisis yang terjadi setelah Pemilu 1955 :
- Jatuhnya Kabinet Burhanuddin Harahap yang telah berhasil melaksanakan Pemilu 1955 pada tanggal 3 Maret 1956 yang disebabkan kebijakannya untuk membubarkan Uni Indonesia-Belanda secara sepihak serta mengadakan tindakan lebih lanjut yang berhubungan dengan persetujuan KMB tidak disetujui oleh Presiden Soekarno.
- Jatuhnya Kabinet Ali II yang menggantikan Kabinet Burhanuddin Harahap pada bulan Maret 1957 yang disebabkan karena banyaknya tuntutan dan protes yang dilancarkan pihak militer di daerah-daerah, terbentuknya dewan-dewan di daerah, serta terjadinya pemberontakan PRRI dan Permesta.
- Munculnya Konsepsi Presiden yang digagas oleh Presiden Soekarno yang berisi bahwa Demokrasi Liberal di Indonesia sudah tak sesuai dan harus diganti oleh Demokrasi Terpimpin, perlunya dibentuk Kabinet Gotong Royong, rencana pembentukan “Kabinet Kaki Empat” yang beranggotakan PNI, Masyumi, NU dan PKI, serta pembentukan Dewan Nasional. Namun banyaknya pro dan kontra atas konsepsi ini membuat negara dalam keadaan darurat bahkan hingga dalam keadaan perang.
- Gagalnya Konstituante menyusun UUD yang disebabkan oleh perpecahan antar partai atau golongan dalam tubuh Konstituante yang saling memaksakan pendapat. Akibatnya, sidang-sidang Konstituante selalu diwarnai perdebatan yang tak ada habisnya dan berujung pada kegagalan untuk menyusun UUD baru.