Sekitar abad ke-19, di Bali telah berdiri beberapa kerajaan seperti Buleleng, Karangasem, Badung dan Gianyar. Di dalam wilayah itu berlaku hukum yang disebut Hukum Tawan Karang. Maksudnya, kerajaan-kerajaan di Bali memiliki hak untuk merampas muatan kapal yang terdampar (karam) di pantai wilayah kerajaannya.
Pada saat itu, banyak kapal-kapal Belanda yang terdampar di liwayah Bali dan muatannya menjadi milik kerajaan di wilayah terdampar. Melihat keadaan itu, Belanda memaksa raja-raja Bali untuk menghapus Hukum Tawan Karang. Belanda juga memaksa agar raja-raja Bali mengakui kedaulatan Belanda di Bal. Raja-raja dari Buleleng, Klungkung, Karangasem dan Gianyar menolak tawaran Belanda. Karena penolakan ini, akhirnya Belanda memutuskan untuk menyerang Bali.
Penyebab terjadinya perang Bali
- Belanda menolak hukum “Tawan Karang” suatu hukum di mana raja Bali berhak mengklaim kapal asing yang kandas di wilayah perairannya.
- Belanda menuntut kerajaan-kerajaan di Bali mengakui kekuasaan Belanda di Bali.
- Belanda minta agar kerajaan-kerajaan di Bali melindungi perdagangannya.
Tokoh-tokoh Bali yang ikut ambil bagian dalam perang Jagaraga. Tokoh-tokoh tersebut di antaranya: Raja Buleleng, Gusti Gde Jelantik (Patih Buleleng), Raja Karangasem.
Perang Jagaraga berawal tahun 1846, pasukan Belanda menyerbu Buleleng. Meskipun dibantu Karangasem, Istana Buleleng dapat diduduki Belanda. Raja Buleleng menyingkir ke Jagaraga. Tahun 1848, Belanda mengirimkan pasukan di bawah pimpinan Mayor Jenderal Van der Wijk. Kemudian memaksa mengadakan perjanjian dengan kerajaan Buleleng dan Karangasem, supaya mengakui kekuasaan Belanda dan menghapus hukum Tawan Karang. Karena perjanjian tidak dihiraukan oleh Kerajaan Buleleng dan Karangasem, pasukan Belanda menyerbu benteng Jagaraga, namun berhasil digagalkan.
Tahun 1849, Belanda melancarkan serangan besar-besaran di bawah pimpinan Jenderal Michiels. Setelah Jagaraga dapat direbut, serangan diarahkan ke Klungkung, Karangasem, dan Gianyar. Dengan semangat perang sampai titik darah penghabisan, rakyat Bali mempersulit gerak pasukan Belanda. Itulah yang disebut semangat puputan. Maka perang itu terkadang disebut perang puputan. Baru pada tahun 1906, Belanda dapat menanamkan kekuasaannya di Bali.