Wilayah De Facto RI Pasca Kedatangan Sekutu dan NICA

Faktor penyebab terjadinya konflik Indonesia-Belanda

Kedatangan tentara sekutu diboncengi oleh NICA

Semenjak Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945 maka secara hukum tidak lagi berkuasa di Indonesia. Hal ini mengakibatkan Indonesia berada dalam keadaan vacum of power (tidak ada pemerintah yang berkuasa) dan waktu itu dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh bangsa Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaannya. Pada tanggal 10 September 1945 Panglima Bala Tentara Kerajaan Jepang di Jawa mengumumkan bahwa pemerintahan akan diserahkan pada Sekutu bukan pada pihak Indonesia. Dan pada tanggal 14 September perwirwa Sekutu datang ke Jakarta untuk mempelajari dan melaporkan keadaan di Indonesia menjelang pendaratan rombongan Sekutu.

Pada tanggal 29 September 1945 akhirnya Sekutu mendarat di Indonesia yang bertugas melucuti tentara Jepang. Semula rakyat Indonesia menyambut dengan senang hati kedatangan Sekutu, karena mereka mengumandangkan perdamaian. Akan tetapi, setelah diketahui bahwa Netherlands Indies Civil Administration (NICA) di bawah pimpinan Van der Plass dan Van Mook ikut di dalamnya, sikap rakyat Indonesia menjadi curiga dan bermusuhan. NICA adalah organisasi yang didirkan orang-orang Belanda yang melarikan diri ke Australia setelah Belanda menyerah pada Jepang. Organisasi ini semula didirikan dan berpusat di Australia. Keadaan bertambah buruk karena NICA mempersenjatai kembali KNIL setelah dilepas oleh Sekutu dari tawanan Jepang. Adanya keinginan Belanda berkuasa di Indonesia menimbulkan pertentangan, bahkan diman-mana terjadi pertempuran melawan NICA dan Sekutu.

Tugas yang diemban oleh Sekutu yang dalam hal ini dilakukan oleh Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI) di bawah Letnan Sir Philip Christinson. Mereka memiliki keinginan untuk menghidupkan kembali Hindia Belanda. Adapun tugas AFNEI di Indonesia adalah sebagai berikut.

  1. Menerima penyerahan dari tangan Jepang.
  2. Membebaskan para tawanan perang dan interniran Sekutu.
  3. Melucuti dan mengumpulkan orang Jepang untuk kemudian dipulangkan.
  4. Menegakkan dan mempertahankan keadaan damai untuk kemudian diserahkan kepada pemerintahan sipil.
  5. Menghimpun keterangan tentang penjahat perang dan menuntut mereka di depan pengadilan.

Kedatangan Belanda (NICA) berusaha menegakkan kembali kekuasaannya di Indonesia.

Kedatangan pasukan Sekutu pada mulanya disambut dengan sikap netral oleh pihak Indonesia. Namun, setelah diketahui bahwa Sekutu membawa NICA(Netherland Indies Civil Administration) sikap masyarakat berubah menjadi curiga karena NICA adalah pegawai sipil pemerintah Hindia Belanda yang dipersiapkan untuk mengambil alih pemerintahan sipil di Indonesia. Para pemuda memberikan sambutan tembakan selamat datang. Situasi keamanan menjadi semakin buruk sejak NICA mempersenjatai kembali tentara KNIL yang baru dilepaskan dari tawanan Jepang.

Melihat kondisi yang kurang menguntungkan, Panglima AFNEI menyatakan pengakuan sedara de facto atas Republik Indonesia pada tanggal 1 Oktober 1945. Sejak saat itu, pasukan AFNEI diterima dengan tangan terbuka oleh pejabat-pejabat RI di daerah-daerah untuk membantu memperlancar tugas-tugas AFNEI.

Namun dalam kenyataannya di daerah-daerah yang didatangi Sekutu selalu terjadi insiden dan pertempuran dengan pihak RI. Hal itu disebabkan pasukan Sekutu tidak bersungguh-sungguh menghormati kedaulatan RI. Sebaliknya pihak Sekutu yang merasa kewalahan, menuduh pemerintah RI tidak mampu menegakkan keamanan dan ketertiban sehingga terorisme merajalela. Pihak Belanda yang bertujuan menegakkan kembali kekuasaannya di Indonesia berupaya memanfaatkan situasi ini dengan memberi dukungan kepada pihak Sekutu. Panglima Angkatan Perang Belanda, Laksamana Helfrich, memerintahkan pasukannya untuk membantu pasukan Sekutu.

Kedatangan tentara Sekutu yang diboncengi NICA menyebabkan terjadinya konflik dan pertempuran di berbagai daerah. Keinginan Belanda untuk kembali menjajah Indonesia berhadapan dengan rakyat Indonesia yang mempertahankan kemerdekaannya. Oleh karena itu, terjadi pertempuran di berbagai daerah di Indonesia. Konflik antara Indonesia-Belanda ini akhirnya melibatkan peran dunia internasional untuk menyelesaikannya.

Peran dunia internasional dalam penyelesaian konfik Indonesia-Belanda

Peranan PBB

Peranan PBB dalam ikut menyelesaikan pertikaian Indonesia dengan Belanda diwujudkan dengan dibentuknya Badan Perdamaian yang bertugas menengahi perselisihan dan menjadi mediator dalam perundingan perdamaian Indonesia Belanda. Dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia setelah proklamasi tercatat ebeberapa badan Perdamaian yang dibentuk PBB untuk Indonesia adalah :

Komisi Jasa Baik (Komisi Tiga Negara)

Lembaga ini dibentuk pada tanggal 25 Agustus 1947 sebagai reaksi PBB terhadap Agresi Militer Belanda I. Lembaga ini beranggotakan 3 negara :

  1. Australia (dipilih oleh Indonesia)        : Richard Kirby
  2. Belgia (dipilih oleh Belanda)               : Paul Van Zealand
  3. Amerika Serikat (pihak netral)             : dr. Frank Graham

Badan ini berperan dalam :

  1. mengawasi secara langsung penghentian temabak menenmbak sesuai resolusi Dewan Keamanan PBB
  2. memasang patok-patok wilayah status quo yg dibantu oleh TNI
  3. mempertemukan kembali Indonesia Belanda dalam Perundingan Renville.

UNCI (United Nations Commisions for Indonesia)

Badan perdamaian ini dibentuk pada tanggfal 28 Januari 1949 untuk menggantikan Komisi Tiga Negara yang dianggap gagal mendamaikan Indonesia – Belanda (Belanda kembali melakukan Agresi Militer setelah P. Renville)

Peranan UNCI adalah :

  1. mengadakan Perundingan Roem Royen (7 Mei 1949)
  2. mengadakan Konferensi Meja Bundar di Den Haag Belanda

Peranan Negara Negara Lain

Konferensi Asia di New Delhi (20 – 25 Januari 1949)

Konferensi ini terselenggara atas prakarsa PM India Jawaharlal Nehru dan PM Burma (sekarang Myanmar) U Aung San, sebagai bentuk dukungan kepada Indonesia setelah terjadinya Agresi Militer Belanda II di Yogyakarta. Konferensi berhasil mendesak PBB untuk mengambil langkah tegas atas tindakan Belanda yang melanggar kedaulatan Republik Indonesia

Pengakuan Kedaulatan RI

Walaupun bukan sayarat utama berdirinya sebuah Negara, pengakuan negara lain sangat penting bagi eksistensi sebuah Negara dalam pergaulan internasional. Pengakuan atas kemerdekaan Indonesia pertama kali dari Mesir (14 Juli 1947) disusul kemudian oleh Negara-negara Timur Tengah yang lain. Pengakuan ini atas kerja keras Menteri Luar negeri H. Agus Salim yang mengadakan kunjungan ke Negara Negara Timur Tengah.

Amerika Serikat dan Inggris walaupun secara de facto juga mengakui kedaulatan RI pada tahun 1947.

Australia merupakan salah satu pendukung utama RI pada masa-masa mempertahankana kemerdekaan. Australia juga berpartisipasia dalam Konferensi New Delhi.

Pengaruh adanya konflik Indonesia-Belanda

Pengaruh wilayah facto RI

Pada akhir Agustus 1946, pemerintah Inggris mengirimkan Lord Killearn ke Indonesia untuk menyelesaikan perundingan antara Indonesia dengan Belanda. Pada tanggal 7 Oktober 1946 bertempat di Konsulat Jenderal Inggris di Jakarta dibuka perundingan Indonesia-Belanda dengan dipimpin oleh Lord Killearn. Perundingan ini menghasilkan persetujuan gencatan senjata (14 oktober) meratakan jalan ke arah perundingan di Linggarjati yang dimulai tanggal 11 nopembern 1946. Dalam perundingan ini Indonesia diwakili oleh Sutan Syahrir. Belanda diwakili oleh tim yang disebut Komisi Jendral dan dipimpin oleh Wim Schermerhorn dengan anggota H.J Van Mook, dan Lord Killearn dari Inggris bertindak sebagai mediator dalam perundingan ini.

Hasil perundingan terdiri dari 17 pasal yang antara lain berisi:

  1. Belanda mengakui secara de facto wilayah RI, yaitu Jawa, Sumatera dan Madura.
  2. Belanda harus meninggalkan wilayah RI paling lambat tanggal 1 Januari 1949Pihak Belanda dan Indonesia Sepakat membentuk negara RIS.
  3. Dalam bentuk RIS Indonesia harus tergabung dalam Commonwealth /Persemakmuran Indonesia-Belanda dengan mahkota negeri Belanda sebagai kepala uni.

Dalam perundingan ini Indonesia dirugikan karena wilayah Indonesia hanya meliputi Jawa, Sumatra dan Madura. Pelaksanaan hasil perundingan ini juga tidak berjalan mulus. Pada tanggal 20 Juli 1947, Gubernur Jendral H.J. van Mook akhirnya menyatakan bahwa Belanda tidak terikat lagi dengan perjanjian ini, dan pada tanggal 21 Juli 1947, meletuslah Agresi Militer Belanda I. Hal ini merupakan akibat dari perbedaan penafsiran antara Indonesia dan Belanda.