Contoh Dampak Persoalan Hubungan Pusat dan Daerah (Kehidupan Politik) Pada Era 1960-an

Selamat berjumpa kembali kawan-kawan, admin akan memberikan contoh Contoh Dampak Persoalan Hubungan Pusat dan Daerah (Kehidupan Politik) Pada Era 1960-an. Mudah-mudahan contoh Contoh Dampak Persoalan Hubungan Pusat dan Daerah (Kehidupan Politik) Pada Era 1960-an ini memberikan manfaat yang banyak.

Setelah penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada Indonesia, timbul beberapa permasalahan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia. Langkah-langkah yang diambil oleh pemerintah pusat belum tentu didukung oleh daerah. Hubungan pusat-daerah selalu diwarnai adanya ketidakpuasan daerah terhadap kebijakan pemerintah pusat.

Ada 2 hal yang melatarbelakangi munculnya rasa ketidakpuasan di berbagai daerah, antara lain:

  1. Alokasi biaya pembangunan yang diterima dari pusat tidak sesuai dengan harapan daerah
  2. Di berbagai daerah belum muncul rasa percaya kepada pemerintah

Dampak persoalan hubungan pusat daerah dan pergolakan sosial politik ditandai adanya peristiwa berikut :

Pemberontakan PRRI di Sumatera Barat

Gerakan-gerakan di daerah yang menentang kebijakan pertimbangan ekonomi pusat dan daerah muncul pertama kali di Sumatera Barat, dengan berdirinya Dewan Banteng yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Ahmad Husein. Gerakan ini menuntut otonomi daerah kepada Pemerintah Pusat, serta pergantian cabinet Djuanda. Menyusul Dewan Banteng, berdirilah beberapa Dewan Militer diberbagai daerah, seperti :

  • Dewan Gajah (Medan) :Kolonel M. Simbolon
  • Dewan Garuda (Palembang) : Kolonel Barlian
  • Dewan Lambung Mangkurat (Kalimantan) : Kolonel M. Basri
  • Dewan Manguni (Mnado) : Kolonel Ventje Samuel

Letnan Kolonel Ahmad Husein bersama dengan beberapa tokoh sipil yang lain seperti Syarif Usman, Burhanudin Harahap, dan Syafrudin Prawiranegara bahkan mengeluarkan ultimatum kepada pemerintah pusat, bahwa dalam waktu 5 x 24 jam P.M. Djuanda menyerahkan mandatnya kepada Presiden dan presiden diminta untuk kembali kepada kedudukan semula sebagai presiden yang konstitusional.

Menanggapi berbagai gerakan ini, KSAD segera mengeluarkan larangan bagi para perwira untuk berpolitik dan memberikan ultimatum akan memecat siapa saja yang terlibat gerakan politik. Karena merasa tidak diindahkan oleh pemerintah pusat, Gerakan ini semakin mempertegas sikapnya dengan mengumumkan berdirinya Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dibawah pimpinan Perdana Menteri Syafrudin Prawiranegara. Gerakan ini bertujuan untuk menggantikan pemerintah yang sah.

Untuk menumpas gerakan ini pemerintah RI melaksanakan beberapa operasi, yaitu :

  1. Operasi Tegas [ mengamankan Riau ] dipimpin oleh Letkol Kaharudin Nasution
  2. Operasi 17 Agustus [ mengamankan Sumatera Barat ], dipimpin oleh Kol. A Yani
  3. Operasi Saptamarga [mengamankan Sumatera Utara ], dipimpin Brigjen Jatikusumo
  4. Operasi Sadar [ mengamankan Sumatera Selatan ] dipimpin oleh Letkol Ibnu Sutowo

Pada tanggal 29 Mei 1961, Ahmad Husein beserta pasukannya menyerahkan diri dan pemberontakan PRRI pun berakhir.

Piagam Perjuangan Semesta (Permesta)

Gerakan daerah yang berlatarbelakang perimbangan ekonomi pusat dan daerah akhirnya meluas ke Sulawesi, Dewan Manguni yang dipimpin oleh Letkol Ventje Samuel mendukung PRRI dan mengumumkan berdirinya Permesta pada tanggal 2 Maret 1957. Gerakan ini menuntut dilaksanakannya Repelita dan pembagian pendapatan daerah secara adil.

Untuk menumpas gerakan ini pemerintah melaksanakan Operasi Merdeka, yang merupakan operasi gabungan dan dipimpin oleh Letkol Rukminto Hendraningrat.

Gerakan penumpasan Permesta merupakan operasi yang sangat sulit, karena medan pertempuran sangat cocok dengan kondisi pemberontak, serta adanya indikasi keterlibatan pihak asing (AS), yaitu dengan tertangkapnya pilot helicopter Alan Pope (warga negara Amerika Serikat) yang berhasil ditembak jatuh oleh pasukan TNI.

Pada pertengahan tahun 1961 sisa-sisa pemberontakan Permesta menyerahkan diri dan memenuhi seruan pemerintah untuk kembali ke tengah-tengah masyarakat.