Sistem Ekonomi Gerakan Benteng merupakan program pemerintah Republik Indonesia untuk mendorong transisi ekonomi Indonesia dari berbasis pertanian menjadi berbasis industri. Program yang digagas oleh Sumitro Djojohadikusumo yang pada saat itu menjabat sebagai Menteri Koordinator bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri serta Perdagangan Indonesia bertujuan untuk mengubah struktur ekonomi nasional dari berbasis kolonial menjadi ekonomi pembangunan. Program ini mengakomodasi kegiatan seperti:
- Menumbuhkan dan mengembangkan minat kewirausahaan dikalangan masyarakat bangsa Indonesia untuk tidak bergantung kepada instansi pemerintahan atau menggantungkan ekonomi pada pendapatan dari pekerjaan belaka.
- Memberikan edukasi dan kesempatan kepada wirausahawan nasional untuk mendapatkan akses keuangan yang terjangkau dan pendidikan pengelolaan finansial usaha untuk mengembangkan usahanya yang sekaligus berkontribusi bagi pembangunan ekonomi Indonesia dengan bentuk penyerapan tenaga kerja, produktivitas usaha yang efektif dan peningakatn nilai tambah usaha terhadap produk domestik bruto nasional.
Gagasan Sumitro ini dituangkan dalam program Kabinet Natsir dan Program Gerakan Benteng dimulai pada April 1950. Hasilnya selama 3 tahun (1950-1953) lebih kurang 700 perusahaan bangsa Indonesia menerima bantuan kredit dari program ini. Namun, program ini tidak dapat berjalan dengan baik, hal ini terjadi karena:
- Wirausahawan yang menerima pembiayaan kegiatan usaha belum memiliki edukasi dan wawasan yang layak dan memadai untuk menerapkan disiplin ilmu usaha.
- Wirausahawan yang menerima pembiayaan kegiatan usaha belum memiliki mental meningkatkan pendapatan, masih sebatas untuk mendapatkan pemasukan.
- Wirausahawan yang menerima pembiayaan kegiatan usaha belum memiliki kreativitas untuk menyiasati ketidakmampuannya dalam menunjang kegiatan usahnya.
- Wirausahawan yang menerima pembiayaan kegiatan usaha belum memiliki kepercayaan diri untuk mengembangkan usahanya dengan mudah.
- Wirausahawan yang menerima pembiayaan kegiatan usaha belum memiliki kesabaran dalam meniti perkembangan usahanya dengan baik.
- Wirausahawan yang menerima pembiayaan kegiatan usaha belum memiliki integritas terhadap apa yang diamanahkan kepadanya.
Program yang diharapkan mampu menjadi stimulus ekonomi Indonesia, malah menjadi penyebab sumber defisit anggaran 1952 yang mencapai Rp 3 Miliar rupiah ditambah sisa defisit anggaran tahun 1951 sebesar 1,7 miliar rupiah.
Program Benteng adalah kebijakan ekonomi yang diluncurkan pemerintah Indonesia bulan April 1950 dan secara resmi dihentikan tahun 1957. Tujuannya adalah membina pembentukan suatu kelas pengusaha Indonesia “pribumi” (dalam arti “non-Tionghoa).
Latar belakang Sistem Ekonomi Gerakan Benteng
Pada tahun 1950-an, ada tekanan politis yang meningkat agar kekuasaan ekonomi diambil dari perusahaan swasta Belanda yang masih ada di Indonesia saat itu, demi penyelesaian Revolusi. Namun, Indonesia masih memerlukan modal dan keterampilan asing untuk menghasilkan pembangunan ekonomi yang diperlukan untuk menghadapi peningkatan jumlah penduduk. Bulan Februari 1950, presiden Soekarno sudah sempat menyampaikan kepada kalangan perusahaan asing bahwa pemulihan ekonomi Indonesia setelah selesainya Revolusi memerlukan dikerahkannya segala sumber modal, baik asing maupun dalam negeri.
Tahun 1953 menteri Keuangan Ong Eng Die menyatakan bahwa peranan perusahaan asing dalam pembangunan ekonomi Indonesia perlu dicantumkan secara jelas dalam rencana pembangunan mendatang. Program Benteng merupakan suatu cara mengembangkan peranan orang Indonesia dalam ekonomi tanpa merugikan perusahaan asing, terutama Belanda.
Pelaksanaan Sistem Ekonomi Gerakan Benteng
Program Benteng melewati sejumlah tahap, dengan pengubahan dalam banyak kesempatan. Program terutama mencakup impor, karena modal yang diperlukan tidak terlalu besar. Lagipula, peranan Belanda sangat terasa di bidang ini, terutama lewat lima perusahaan niaga besar.
Pada mulanya yang ditekankan adalah barang mana yang wajib diimpor oleh pengusaha pribumi. Kemudian, yang dibicarakan adalah persyaratan mengenai kelayakan memperoleh lisensi impor. Tahun 1950 sudah sempat ditentukan bahwa paling tidak 70% dari pemegangan saham perusahaan harus dimiliki “bangsa Indonesia asli”. Bulan Mei dan Juni 1953, debat mengenai penaikan persentase ini, termasuk tuduhan diskriminasi terhadap importir Tionghoa, berakibatkan jatuhnya Kabinet Wilopo.
Program Benteng ditinjau kembali bulan September 1955 oleh Kabinet Burhanuddin Harahap dan menteri Keuangan Sumitro Djojohadikusumo. Syarat berdasarkan suku dicabut dan diganti dengan persyaratan ketat mengenai pembayaran uang muka. Dibentuknya Kabinet Karya di bawah Djuanda Kartawidjaja bulan Maret dan April 1957 ditandai dengan pengalihan ke “ekonomi terpimpin”. Program Benteng resmi dihentikan.