Syariat islam melarang umatnya untuk memakan makanan yang masih panas, karena makanan yang panas bila dimakan dapat merusak mulut. Selain itu, bila makanan tersebut ditiup-tiup maka dapat membawa racuk ke dalam tubuh orang yang meniupnya.
Dalam hadis yang diriwayatkan Imam Tirmidzi bahwa Nabi Muhammad saw telah melarang bernafas di dalam bejana atau meniup air di dalamnya. Dikatakan oleh Asma’ binti Abu Bakar ra, jika beliau membuat roti Tsarid, maka beliau tutupi roti tersebut dengan sesuatu sampai panasnya hilang. Kemudian beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw bersabda, ‘Sesungguhnya hal tersebut lebih besar berkahnya.”
Makanan yang tidak panas bila dimakan maka tidak akan menyebabkan gangguan dalam tubuh, misalnya tidak merusak gigi dan mulut, pencernaan. Abu Hurairah mengatakan, “Makanan itu tidak boleh disantap kecuali jika asap makanan yang panas sudah hilang.”
Ibnul Qoyyim mengatakan bahwa Nabi Muhammad tidak pernah menyantap makanan dalam keadaan masih panas.
Anjuran Nabi Muhammad mengenai larangan meniup makanan (minuman) panas saat ini bisa dibuktikan secara ilmiah. Saat kita menarik nafas, kita menghirup oksigen (O2), dan sesudah dikeluarkan itu sudah berubah menjadi karbondioksida (CO2). Apabila air bereaksi dengan karbondioksida maka akan berubah menjadi asam cuka (H2CO3). Ini yang akan menimbulkan bau tak sedap dalam air itu. Selain itu, bakteri (kuman) yang ada di dalam paru-paru dan saluran pernapasan kita akan ikut mencemari air minum (makanan) tersebut.
Syariat islam juga melarang umatnya untuk minum pada gelas yang retak atau pecah. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Imam Ahmad, Rasulullah saw pernah melarang minum dari bagian cangkir yang pecah dan melarang untuk bernafas dalam air minum.