Bagaimana hukum i’tikaf bagi laki-laki dan perempuan

Rasulullah saw memberikan teladan kepada umatnya agar mereka senang beri’tikaf, sebagaimana terungkap dalam hadis yang diriwayatkan dari Siti Aisyah r.a. bahwa Rasulullah saw selalu beri’tikaf pada 10 hari terakhir (bulan ramadhan) hingga Allah mewafatkannya, kemudian para istrinya melakukan hal yang sama setelah beliau tiada.

Para ulama juga bersepakat mengenai keutamaan i’tikaf. Tetapi mereka berbeda pendapat mengenai hukum i’tikaf. Perbedaan itu meliputi tiga persoalan utama, yaitu hukum iktikaf bagi laki-laki, hukum iktikaf bagi perempuan, dan hukum iktokaf di luar bulan ramadhan serta diluar 10 hari terakhir bulan ramadhan.

Mengenai hukum iktikaf bagi laki-laki, para ulama bersepakat bahwa hukumnya sunnah sesuai dengan dalil-dalil syariat yang telah diungkapkan diatas. Sementara mengenai hukum iktkaf bagi perempuan, para ulama berbeda pendapat, tetapi sebagian besar berpendapat hukumnya sunnah seperti untuk laki-laki. Pendapat mereka ini didasarkan atas:

  1. Dalil iktikaf yang bersifat umum, tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan.
  2. Firman Allah yang menceritakan Siti Maryam dalam surat Maryam ayat 17, “Maka ia (Maryam) membuat tabir (penghalang) dari mereka.” Dan surat Ali Imran ayat 37, “Setiap kali Zakaria masuk ke mihrab untuk menemui Maryam, ia dapati makanan di sisinya.” Kedua ayat Al Qur’an ini mengungkapkan bahwa kaum perempuan juga beriktikaf di dalam mesjid. Umat terdahulu melakukannya dan tidak ada dalil syariat yang menentangnya.
  3. Hadis riwayat Siti Aisyah a yang menyebutkan bahwa Rasulullah saw memberikan izin kepada dirinya dan Hafshah untuk beriktikaf bersama beliau.
  4. Hadis riwayat Aisyah r.a yang menyatakan bahwa sebelumnya para istri Nabi saw beriktiaf di dalam mesjid sedangkan mereka dalam keadaan haid, kemudian Rasulullah menyuruh mereka untuk keluar dan bersuci.