KH. Abbas Djamil Buntet Cirebon (Kyai Pejuang Dari Cirebon)

Pendiri pesantren Buntet adalah Mbah Muqayyim, yang tidak lain adalah kakek dari KH Abbas Djamil. Ia adalah seorang mufti keraton Cirebon, yang memilih keluar istana karena menolak bekerjasama dengan penjajah Belanda. Mbah Muqayyim menjadi mufti pada masa pemerintahan Sultan Khairudin I, Sultan Kanoman yang mempunyai anak Sultan Khairuddin II, yang lahir pada tahun 1777. Selanjutnya, pesantern Buntet di bawah asuhan Kyai Abbas berkembang menjadi basis pertahanan dan perjuangan umat dalam melawan penjajah.

Lahir Dari Keluarga Pejuang

KH. Abbas Djamil lahir dari kalangan ulama. Ia adalah putra sulung KH. Abdul Djamil, putra KH. Mu’tad, atau menantu Mbah Muqayyim. Abbas dilahirkan pada hari jumat 24 dzulhijjah 1300 H/1879 M, di desa Pekalongan Cirebon. Kakek Abbas, Mbah Muqayyim, mendirikan lembaga pendidikan pesantren di Dusun Kedungmalang, Buntet pada tahun 1750, setelah meninggalkan kesultanan Cirebon.

Waktu itu, untuk menghindari desakan penjajah Belanda, Mbah Muqayyim selau berpindah-pindah tempat. Sebelum menetap di Blok Buntet (Desa Martapada Kulon) seperti saat ini, ia tinggal di sebuah wilayah yang disebut Gajah Ngambung. Konon, disebut demikian karena ia memiliki seekor gajah putih.

Setelah itu, Mbah Muqayyim juga masih terus berpindah tempat ke Persawahan Lemah Agung, lantas ke daerah yang disebut Tuk Karangsuwung. Bahkan, ia sempat pindah ke daerah Beji Pemalang Jawa Tengah. Semua itu ia lakukan karena hampir setiap hari penjajah Belanda patroli ke pesantren. Sehingga suasana pesantren mencekam, meskipun para santri tetap giat belajar sambil terus bergerilya bila malam tiba. Mbah Muqayyim dikenal sebagai orang yang tidak kooperatif dengan penjajah.

Sikap Mbah Muqayyim diwarisi pula oleh Kyai Abbas. Ia bersikap sangat keras terhadap penjajah. Sehingga di bawah asuhannya, pondok pesantren Buntet tidak hanya menjadi basis pendidikan islam, namun juga menjadi basis pergerakan perjuangan rakyat melawan penjajah.

Pendidikan

Ketika kecil, Abbas belajar pada ayahnya, yaitu KH Abdul Djamil. Setela itu belajar di pesantren Sukanasari Plered Cirebon asuhan Kyai Nasuha. Kemudian pindah ke daerah Jatisari Jawa Barat dan diasuh oleh Kyai Hasan. Lalu ke pesantren di Jawa Tengah Kabupaten tegal asuhan Kyai Ubaidah. Lalu pindah lagi ke pesantren Tebuireng Jombang asuhan Syeikh Hasyim Asy’ari, tokoh pendiri NU. Disana ia bertemu dengan santri lain, yaitu KH Abdul Wahab Chasbullah, dan KH Abdul Manaf. Setelah itu dia belajar ke Mekah al-Mukaramah, disana dia bertemu dengan KH. Machfudz Termas asal Pacitan Jawa Timur.

Di Mekah dia bertemu dengan KH. Bakir Yogyakarta, KH. Abdillah Surabaya, dan KH. Wahab Chasbullah Jombang. Disana dia ditugasi untuk mengajari para muqimin (orang Indonesia yang tinggal di Mekah). Santrinya antara lain adalah KH. Cholil Balerante Palimanan, KH. Sulaiman Babakan, Ciwaringin Cirebon, dan lain-lain.

Memimpin Pesantren Buntet

Setelah kembali ke tanah air, KH. Abbas memimpin pesantren Buntet yang telah dirintis oleh para orang tuanya. Dia mengajarkan berbagai kitab kuning, dan ilmu modern yang mulai berkembang saat itu. Pengajaran ilmu ushul fiqh mencapai kemajuan yang sangat pesat. Sehingga pemikiran fiqih para alumni Buntet sejak dulu sudah sangat maju. Sebagaimana umumnya pesantren, fiqih merupakan kajian yang sangat diprioritaskan, karena menyangkut kehidupan sehari-hari.

KH. Abbas merupakan seseorang yang rendah hati, hal ini tampak ketika dia ditanya tentang sesuatu yang tidak dia kuasai, maka dia berterus terang bahwa ia belum menguasainya, dan membutuhkan waktu untuk menelaahnya kembali.

Dia juga merupakan pribadi yang sederhana, di kediamannya ada langgar (mushala) yang beratapkan genteng dengan dua kamar dan dua ruang terbuka yang cukup luas. Tikar yang terbuat dari pandan menghampar sebagai alasnya. Di ruang inilah, beliau menerima tamu-tamunya. Langgar ini didatangi banyak tamu dari berbagai daerah, termasuk tamu yang ingin belajar ilmu bela diri dan kanuragan.

Melawan Penjajah Belanda

KH. Abbas selain membekali para santrinya dengan ilmu agama, juga membekalinya dengan ilmu bela diri. Tujuannya adalah agar mereka tangguh dalam mengusir penjajah.

Kegiatan mengajar kitab kuning diserahkan kepada kedua adik kandungnya, KH. Anas dan KH Akyas. Sementara beliau sendiri, lebih banyak memusatkan perhatian pada kegiatan dakwah di masyarakat dan mengajar ilmu-ilmu kanuragan atau bela diri.

Pesantren Buntet saat itu dijadikan sebagai markas pergerakan republik yang tergabung dalam barisan Hizbullah untuk melawan penjajah. Hizbullah merupakan kekuatan yang tangguh dan disegani musuh. Di pesantren Buntet, Hizbullah dketuai oleh KH. Abbas dan adiknya KH. Anas, serta dibantu oleh ulama lain seperti KH. Murtadlo, KH. Soleh dan KH. Mujahid.

Oleh karena itu, tidak heran jika kemudian muncul tokoh Hizbullah di zaman pergerakan nasional yang berasal dari Cirebon, seperti KH. Hasyim Anwar dan KH. Abdullah Abbas, putra Kyai Abbas. Ketika melakukan perang gerilya, tentara Hizbullah memusatkan pertahanannya di daerah Legok, Kecamatan Cidahu, Kuningan Jawa Barat, dengan front di perbukitan Cimaneungteung, daerah Waled Selatan yang membentang ke bukit Cihirup Kecamatan Cipancur Kuningan. Daerah tersebut terus dipertahankan sampai terjadinya perundingan Renville yang kemudian pemerintah RI beserta semua tentaranya hijrah ke Yogyakarta.

Selain mendirikan Hizbullah, pada saat itu pesantren Buntet juga dikenal dengan adanya organisasi yang bernama Asybal. Inilah organisasi anak-anak yang berusia di bawah 17 tahun. Organisasi ini sengja dibentuk oleh para sesepuh pesantren sebagai pasukan pengintai atau mata-mata guna mengetahui gerakan musuh, sekaligus juga sebagai penghubung di daerah pertahanan sampai ke daerah front tersepan.

Semasa perang kemerdekaan, banyak warga pesantren Buntet yang gugur dalam pertempuran. Basis kekuatan laskar yan dibangun oleh Kyai Abbas itu kemudian menjadi pilar penting bagi tercetusnya revolusi november di Surabaya tahun 1945. Kala itu, Bung Tomo segera berkonsultasi dengan KH. Hasyim Asy’ari guna meminta restu dimulainya perlawanan terhadap tentar sekutu Inggris yang dibonceng Belanda. Tetapi Kyai Hasyim menyarankan agar perlawanan rakyat itu jangan dimulai terlebih dahulu, sebelum Kyai Abbas sebagai laskar andalannya datang ke Surabaya.

Memang setelah itu, laskar dari pesantren Buntet di bawah pimpinan Kyai Abbas beserta adiknya Kyai Anas, mempunyai peran besar dalam perjuangan menentang tentara Inggris yang kemudian dikenal dengan peristiwa 10 November 1945.

Atas restu Kyai Hasyim, Kyai Abbas terlibat langsung dalam pertempuran Surabaya. Selanjutnya, Kyai Abbas juga mengirimkan para pemuda yang tergabung dalam tentara Hizbullah ke berbagai daerah pertahanan untuk melawan penjajah yang hendak menguasai kembali Indonesia, seperti Jakarta, Bekasi, Cianjur, dan lain-lain.

Di mata Kyai Hasyim, Kyai Abbas lah santri yang mempunyai beberapa kelebihan. Baik dalam ilmu bela diri maupun ilmu kanuragan. Tidak jarang, Kyai Abbas dimintai bantuan khusus berkaitan denga keahliannya itu.  Hubungan Kyai Hasyim dan Kyai Abbas memang telah terjalin dengan baik.  Terlihat ketika pertama kali KH. Hasyim mendirikan pesantren Tebuireng. Kyai Abbas banyak memberikan perlindungan, terutama saat diganggu oleh para penjahat setempat yang merasa terusik dengan keberadaan pesantren Tebuireng.

Sekitar tahun 1900, Kyai Abbas datang dari Buntet bersama Kh Soleh Zamzam, Benda Kerep, KH Abdullah Panguragan dan Kyai Syamsuri Wanatar. Berkat kehadiran mereka, para penjahat yang di backing Belanda, penguasa pabrik gula Cukir itu tidak lagi mengganggu pesantren Tebuireng. Walaupun revolusi sudah berakhir, tetapi Kyai Abbas masih mengikuti perkembangan politik di negeri ini. Kyai Abbas meninggal pada hari ahad subuh, tepatnya tanggal 1 rabiul awal 1365 H atau tahun 1946 Masehi. Beliau dimakamkan di pemakaman Buntet.